katacerita.com-"Ora usah digubris, Mbak. Kui wong edan" dari kalimat tersebut membuat seorang mahasiswi jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, tergerak hatinya untuk bisa lebih dekat dengan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Dialah mbak Triana Rahmawati.
Kondisi kesehatan jiwa
Kondisi kesehatan jiwa seseorang dapat dibagi menjadi dua yaitu Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). ODMK adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa.
ODGJ merupakan orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia (Indrayani and Wahyudi, 2019).
Gangguan jiwa berat (termasuk dalam ODGJ) adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk.
ODMK biasanya terlihat berbeda dengan orang kebanyakan pada umumnya dalam berperilaku.
Kesehatan jiwa/mental sering kali dianggap sebagai sesuatu yang kurang penting atau sering diremehkan dibandingkan dengan kesehatan fisik, karena adanya anggapan jika badan sehat, maka jiwa akan ikut sehat. Ingat dengan ungkapan yang sangat popular ini? "mens sana in corpore sano" yang mempunyai arti "di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat." Padahal, kesehatan jiwa memiliki peran yang sangat krusial dalam kualitas hidup seseorang.
Masih banyak orang yang tidak mau, malu atau takut untuk berbicara tentang masalah kesehatan jiwa, sehingga masalah yang penting ini seringkali terabaikan dan disepelekan.
Pembicaraan mengenai kesehatan jiwa di kalangan masyarakat tidak lepas dari pro dan kontra. Akibat adanya perbedaan pandangan pada setiap masyarakat sehingga sering terjadi perdebatan dalam memahami kesehatan jiwa itu sendiri. Karena rendahnya kesadaran masyarakat terhadap isu kesehatan mental sebenarnya cukup berdampak pada orang yang memiliki gangguan jiwa, ODMK.
Gangguan kesehatan jiwa, semakin ngetren
"kamu lemah", "kamu tu cuma capek", "kamu tu harusnya intropeksi diri", "kamu tu kayaknya kurang ibadah, deh", kata-kata tersebut menandakan bahwa isu kesehatan jiwa di masyarakat masih sering diremehkan, diabaikan sehingga tak jarang orang yang terkena gangguan mental tidak mau speak-up karena mereka akan ditanggapi dengan kata-kata tersebut. Jika mereka berkonsultasi ke psikolog, orang-orang akan menganggap mereka gila.
Menurut WHO, 1 dari 7 anak berusia 10–19 tahun mengalami masalah kesehatan jiwa, dengan depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku sebagai penyebab utama. Di Indonesia, survei I-NAMHS (2022) mencatat bahwa 34,8% remaja mengalami masalah kesehatan jiwa.
Masih segar diingatan kita tentang kasus Mahasiswi UNS DA diduga melakukan percobaan bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari Jembatan Jurug, Surakarta, pada Selasa, 1 Juli 2025. Faktanya mahasiswi ini bukan yang masih pusing mengerjakan skripsi, tapi DA sudah menyelesaikan skripsi, mempunyai IPK 3,8, tinggal wisuda saja dan merupakan penerima beasiswa KIP (Kartu Indonesia Pintar)
Dan fakta yang mengejutkan adalah mahasiswi ini berdasarkan data yang dimiliki UNS, DA tercatat sebagai klien Subdirektorat Layanan Konseling Mahasiswa sejak Januari 2025, dan telah direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan ke psikiater. Selama itu, DA terus mendapatkan pendampingan hingga sebelum peristiwa nahas tersebut terjadi.
Stigma merupakan salah satu hambatan yang mencegah orang dengan gangguan jiwa mendapat perawatan (Cooper, Corrigan, & Watson, 2003).
Stigma-stigma negatif di kalangan masyarakat mengenai gangguan jiwa membuat penderita menjadi sulit untuk menceritakan isi hatinya. Jika mereka berkonsultasi ke psikolog, orang-orang akan menganggap mereka gila.

Stigma terhadap penderita gangguan jiwa di Indonesia masih sangat kuat. Dengan adanya stigma, orang yang mengalami gangguan jiwa terkucilkan, dan dapat memperparah gangguan jiwa yang diderita. Pada umumnya, penderita gangguan jiwa berat (skizofrenia) dirawat dan diberi pengobatan di rumah sakit. Setelah membaik dan dipulangkan ke rumah, tidak ada penanganan khusus yang berkelanjutan bagi penderita.
Komponen Stigma
Menurut Link dan Phelan (dalam Scheid & Brown, 2010) stigma mengacu pada pemikiran Goffman, komponen-komponen dari stigma sebagai berikut:
1. Labelling
Labelling adalah pembedaan dan memberikan label atau penamaan berdasarkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki anggóta masyarkat tersebut (Link & Phelan dalam Scheid & Brown, 2010).
2. Stereotype
Stereotype adalah komponen kognitif yang merupakan keyakinan tentang atribut personal yang dimiliki oleh orangorang dalam suatu kelompok tertentu atau kategori sosial tertentu (Taylor, Peplau, & Sears, 2009)
3. Separation
Separation adalah pemisahan "kita" (sebagai pihak yang tidak memiliki stigma atau pemberi stigma) dengan "mereka" (kelompok yang mendapatkan stigma).
4. Diskriminasi
Diskriminasi adalah perilaku yang merendahkan orang lain karena keanggotaannya dalam suatu kelompok (Rahman, 2013)
Apa yang dilakukan untuk stop stigma? Dengan membangun semangat bersama untuk menghentikan stigma pada pasien gangguan jiwa, membangun semboyan utama bagi keluarga untuk mengawali upaya kesehatan jiwa dimulai dari diri mereka sendiri (Mental Health, begins with me...). Seorang penderita gangguan jiwa membutuhkan pengertian dan dukungan.
Triana, perjalanan memanusiakan ODMK
Dari jawaban "...kui wong edan" yang dilabelkan pada seorang ODGJ, Triana gadis kelahiran Palembang, 15 Juli 1992, bergetar hatinya kala itu. Dibulan Ramadhan saat membeli makanan pada sore hari untuk berbuka puasa dan tetiba ada suara adzan yang lebih cepat dari biasanya, kemudian bertanya kepada penjual makanan, "apakah sudah adzan?" Kemudian Triana mendapatkan jawaban tersebut.
Keadaan menyedihkan yang sering dialami oleh para OMDK ini membuat gelisah Triana yang akrab disapa Tria. Hati Tria tergerak untuk lebih memperhatikan ODMK apalagi dengan dia sebagai mahasiswi Sosiologi. Bersama dengan kedua temannya Febrianti Dwi Lestari dan Wulandari untuk melakukan 'sesuatu' yang bermakna bagi ODMK. Mereka pun keliling di daerah sekitar kampus dan kos mencari panti yang bisa menerima mereka dengan tangan terbuka.
Ternyata UNS tempatnya menimba ilmu dekat dengan Rumah Sakit Jiwa Surakarta. Bukan hanya itu saja, kos Tria juga dekat dengan tempat rehabilitasi ODMK. Tria pun berpikir Allah memberi petunjuk padanya untuk lebih memperhatikan ODMK dan menyadarkannya bahwa ODMK juga manusia, tapi lupa dimanusiakan.
Saat keliling Tria, Febri dan Wulan menemukan Griya PMI Peduli Surakarta memiliki fokus di kesehatan mental. Ketiganya diterima dengan hangat oleh Pak Tri, salah satu pengurus Griya PMI Peduli.
Oleh Pak Tri, Tria dkk diminta terjun lapangan bertemu langsung dengan ODMK di Griya PMI Peduli yang kala itu ada 30 ODMK. Ketiganya merasa gugup karena ini pengalaman pertamanya, dan ternyata ODMK tidak seperti stigma yang melekat di masyarakat.
Griya Schizofren Solo
Sejak berinteraksi dengan ODMK Tria dan kedua temannya membuat wadah yang dapat menyalurkan kepeduliannya terhadap ODMK, lahirlah Griya Schizofren pada tahun 2012 tepatnya pada tanggal 10 Oktober yang beranggotakan tiga mahasiswi yaitu pendiriinya sendiri Tria, Febri dan Wulan.
Griya Schizofren, mempunyai arti griya berarti rumah, Sc-Social berarti komunitas sosial, Hi-Humanity memiliki arti bahwa komunitas dibangun karena rasa kemanusiaan, dan Fren-Friendly bermakna membangun prinsip persahabatan dengan ODMK.
Griya Schizofren secara luas memiliki makna sebagai tempat anak muda menyalurkan jiwa sosialnya karena panggilan kemanusiaan dengan memegang prinsip kesetaraan (persahabatan) untuk Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK).
Mereka bukan gila, mereka hanya butuh diperhatikan
Penderita gangguan jiwa sulit untuk langsung sembuh dalam satu kali perawatan, namun membutuhkan proses yang panjang dalam penyembuhan. Karena itu, dibutuhkan pendampingan yang terus menerus sampai pasien tidak mudah kambuh, karena untuk benar-benar sembuh itu tidak bisa 100% dan dapat bersosialisasi dengan orang lain secara normal. Oleh sebab itu Griya Schizofren berusaha menjadi teman saat para ODMK sedang melewati fase-fasenya, terutama saat mereka kambuh. Griya Schizofren yakin kalau ODMK bisa stabil dan beraktivitas normal di masyarakat asal rutin minum obat dan tidak ada sesuatu yang memicu jiwa mereka kembali terguncang.
Pada tahun 2013 Griya Schizofren berubah menjadi komunitas yang tersistem, sehingga mereka membuka lowongan relawan muda di Surakarta. Setelah lulus kuliah dua teman Tria, Febri dan Wulan harus kembali ke Jakarta. Apakah Tria berhenti? Tentu tidak! Tria memutuskan untuk tetap melanjutkan Griya Schizofren bersama para volunteer.
Sampai detik ini Griya Schizofren terus maju bersama Griya PMI Peduli Surakarta dalam mendampingi ODMK untuk memupuk harapan bahwa ODMK bisa berdampingan dengan masyarakat.
Merawat Nurani, Menjaga Asa, Menjadikan Manusia Seutuhnya
Tagline yang diusung oleh Tria melalui Griya Schizofren "Merawat Nurani, Menjaga Asa, Menjadikan Manusia Seutuhnya", tiga program penting dalam mengimplementasikan pendampingan penyintas kejiwaan.
Kegiatan pendampingan konsen pada perluasan akses bagi penyintas masalah kejiwaan melalui sejumlah terapi, mulai dari menyanyi, mengaji, hafalan, ketrampilan, hingga terapi menggambar/melukis (Art Therapy).
Tiap kali kami turun berkegiatan, bukan kami sedang membantu orang lain, tapi kami sedang dibantu orang lain lewat pelajaran-pelajaran hidup yang jarang kami jumpai di kelas -Triana Rahmawati-
Tidak hanya terapi saja dalam pendampingan para ODMK yang dirangkul Tria di Griya Schizofren tapi juga menemani ngobrol, mendampingi dalam keseharian mereka, shalat berjamaah, berbuka puasa bersama dibulan Ramadhan dan sebagainya.
Tidak hanya itu Tria melalui Griya Schizofren juga melakukan pemberdayaan pada ODMK untuk diberikan pendampingan sehingga dapat berguna di masyarakat, dan ODMK bukan aib masyarakat.
Pemberdayaan ODMK melalui Souvenir and Love (SOLVE) by Givo salah satu usaha sosial yang digagas Tria yang bertujuan untuk agar mereka dapat memenuhi kebutuhan seperti pembayaran BPJS Kesehatan. SOLVE mengolah gambar hasil dari art therapy secara digital dan memberikan nilai tambah seperti tottebag, mug, pouch yang dijual melalui sosial media, sebagai souvenir . Givo bisa dipesan custom, tidak hanya hasil dari pemberdayaan ODMK, agar SOLVE by Givo bisa terus menunjang kegiatan Griya Schizofren.
![]() |
| salah satu gambar hasil ODMK yang digitalisasi, siap jual |
Pesan Triana Rahmawati: Sekecil apapun kebaikan, tetaplah berarti
Tria seorang ibu dengan dua anak, mempunyai segudang aktivitas, juga aktif di sosial media dengan konten seputar suami istri, keluarga dan keseharian tidak hanya itu saja, tapi juga dengan kegiatan bersama tim dan ODMK.
“Momen saat ibuku sakit. Itu yang membuat aku menyadari betul, ternyata apa yang di dunia ini benar-benar tidak dibawa mati,” Ini alasan Tria mendedikasikan dirinya sebagai penggiat sosial.
Tria juga mengadakan sosialisasi untuk masyarakat tentang kesehatan mental & cara memperlakukan ODMK dengan baik, baik di sekolah-sekolah, instansi maupun komunitas.
Tria selalu menyampaikan agar masyarakat untuk berhenti melakukan stigmatisasi, diskriminasi dan labelling terhadap ODMK.
Saat Workshop Fotografi & Bincang Inspiratif SATUKAN GERAK TERUS BERDAMPAK di Griya Solopos, Kamis 21 Agustus 2025, Tria menyampaikan "setiap kontribusi, sekecil apa pun, memberi dampak besar. “Baik itu tetap baik. sekecil kebaikan, tetaplah kebaikan.”
Apresiasi SATU Indonesia Awards untuk Triana Rahmawati
Kegiatan Griya dijalankan secara sukarela, masalah klasik yaitu keuangan lama-kelamaan, muncul juga. Jalan keluar akhirnya didapatkan ketika Triana didaftarkan oleh suaminya Emasis sapaan akrab Siswandi untuk program Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards
Alhamdulillah, dedikasinya kepada pendampingan ODMK dengan perjalanan yang tidak mudah Triana pun terpilih menjadi salah satu pemenang pada Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2017, dan mendapatkan hadiah uang serta pembinaan untuk mensupport kegiatan Tria di Griya Schizofren.
“Menjadi bagian dari SATU Indonesia Awards ini sungguh bukan karena aku lagi semangat atau pesimis. Tapi aku benar-benar lagi down buat ngelanjutin komunitas Griya Schizofren. Terima kasih Astra melalui Program SATU Indonesia Awards-nya. Astra menjadi bagian nafas kebaikan yang jauh lebih panjang”, tulis Tria pada akun Instagramnya.
Stop mengatakan ODMK orang gila
Stop mengatakan ODMK itu orang gila "wong edan", karena sejatinya mereka itu manusia yang sedang diuji oleh Allah SWT. Mereka sedang diuji masalah kejiwaan, dengan level bertingkat-tingkat Misalnya lagi stres berkepanjangan, depresi ringan sampai sedang, cemas berlebihan, atau trauma yang belum kelar.
Karena aku juga punya jiwa. Berarti kemungkinan aku bisa seperti mereka atau punya masalah kejiwaan itu juga besar. Itulah kenapa aku bisa menghargai kesehatan jiwaku ketika bertemu dengan mereka. Mereka mengajarkan aku untuk bersyukur kalau kesehatan jiwa yang kita miliki sering kita lupakan padahal itu menempel di dalam diri - Triana Rahmawati-
ODMK itu kayak orang yang lagi “nggendong tas ransel penuh batu". Jalannya tetep bisa, tapi berat banget. Kalau nggak ada yang bantu, bisa-bisa tambah jatuh. Mereka membutuhkan teman,perhatian.
Setiap orang punya ceritanya masing-masing. Ada masalah ekonomi, kerjaan, keluarga, hubungan yang nggak sehat, sampai faktor keturunan. Jadi jelas banget, jadi ODMK itu bukan pilihan, tapi keadaan. Dan siapa pun bisa ngalamin.
Menurut undang undang kesehatan jiwa taun 2014 yang ada adalah istilah ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) dan ODMK (orang dengan masalah kesehatan psikososial), sehingga sebaiknya jangan menyebut pasien sebagai orang gila.
Belajar dari Tria
Tria mempunyai mimpi besar, melalui Griya Schizofren dapat hadir di seluruh Indonesia dengan prinsip sosial, kemanusiaan, dan membentang persahabatan untuk memanusiakan ODMK seutuhnya.
Dari sosok Triana kita sebagai masyarakat bisa mengenal ODMK, mereka itu bukan aib masyarakat, mereka bisa hidup berdampingan, agar kita memanusiakan ODMK dan menghapus stigma yang melekat pada mereka.
Pesan Triana untuk kita semua agar terus berkontribusi dan bermanfaat untuk sekitar dan lebih luas. Jangan lupa untuk bersyukur.
(Rika Wahyuni)
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia
Referensi :
https://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPM
https://www.tempo.co/hukum/kronologi-mahasiswa-uns-meninggal-usai-lompat-ke-sungai-bengawan-solo-1885324
https://ayosehat.kemkes.go.id/orang-dengan-gangguan-jiwa-mitos-stigma-upaya
https://ugm.ac.id/id/berita/22185-stigma-buruk-gangguan-kesehatan-mental-hambat-pemulihan-pasien/
https://repository.unair.ac.id/85672/1/Stigma%20Masyarakat%20Indonesia%2005022019.pdf
https://www.instagram.com/uleetria/
https://www.instagram.com/griya.schizofren/
https://www.soviwakhidah.com/2022/12/griya-schizofren-asa-memanusiakan-odmk-seutuhnya.html

%20(1300%20x%201300%20piksel)%20(2).png)


.png)
.png)
%20(1300%20x%201300%20piksel).png)


Terimakasih sudah berkunjung
Selamat Membaca dan Semoga bermanfaat